Jombang – Akhir-akhir ini kasus perundungan (bullying) di kalangan pemuda marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Perundungan yang mengakibatkan terjadinya praktik kekerasan ini dapat terjadi di mana saja, seperti di lingkungan bermain, sekolah bahkan di lingkungan pondok pesantren.
Selama lima tahun terakhir, setidaknya sebanyak 10 kasus kekerasan di lingkungan pesantren yang mencuat di permukaan publik. Terakhir yaitu di salah satu pesantren di Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Kediri yang menyebabkan hilangnya nyawa santri yang menjadi korban perundang (sumber: CNN Indonesia).
Kondisi demikian, membuat pandangan terhadap kehidupan pesantren kini dikenal sangat mengerikan. Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum (YPPBU) Tambakberas Jombang, Dr. H. M. Wafiyul Ahdi, M.Pd.I mengungkapkan pandangannya menanggapi fenomena tersebut. Apa penyebab terjadinya praktik kekerasan di lingkungan pesantren?, mengapa kasus ini terus bermunculan? lantas bagaimana solusinya?.
Kekerasan Simbolik di Lingkungan Pesantren.
Menurut Ketua Umum YPPBU tersebut, kekerasan yang akhir-akhir ini viral di berbagai media, layaknya fenomena gunung es. Pasalnya, penyebab terjadinya perundungan di kalangan santri dapat terjadi kapanpun dan di manapun. Kendati demikian, beliau sangat menyayangkan atas maraknya kekerasan yang terjadi hingga kini.
“Fenomena ini menjadi keprihatinan kita, yang jelas itu bukan sesuatu yang kita harapkan bersama. Sebenarnya kultur pesantren yang penghuninya selalu berkumpul, itu memang berpotensi terjadi kesalah pahaman antar sesama,” kata Ketua Umum YPPBU tersebut saat ditemui, Minggu (17/3/2024).
Pria yang akrab disapa Gus Wafi ini juga menjelaskan, kesalah pahaman atau ketidak cocokan tersebut menjadi akar permasalahan kekerasan di kalangan santri. Sehingga tidak jarang kesalah pahaman lantas diekspresikan ke dalam bentuk sikap kekerasan atau perundungan.
Secara terminologi, kekerasan merupakan perbuatan seseorang/kelompok yang menyebabkan cedera, mati, cacat fisik atau barang orang lain. Kekeerasan yang muncul di pesantren juga dapat terjadi di kalangan antar santri, pengurus dengan santri bahkan guru atau pengasuh dengan santri. Beragam macam kekerasan juga bisa terjadi di pesantren, baik yang nyata maupun laten, baik disadari maupun tidak.
“Yang sangat berbahaya ini adalah kekerasan yang bersifat laten. Yaitu pelaku bahkan korban pun tidak menyadari,” lanjut Gus Wafi.
Realitas kekerasan ini sulit terdeteksi, kondisi tersebut beroperasi di bawah ketidaksadaran pelaku maupun korban sehingga bersifat nirsadar. Meminjam istilah yang dikemukakan oleh sosiolog, filsuf kritis asal Prancis, Pierre Bourdieu (1994) yaitu kekerasan simbolik.
Prinsip simbolis sendiri diakibatkan adanya pihak dominan yang menguasai dan pihak sub-dominan yang dikuasasi. Prinsip ini menyerang dan menentukan cara berpikir, melihat, merasakan, dan bertindak suatu individu (Haryatmoko, 2007).
Seperti yang dijelaskan oleh Gus Wafi sebelumnya, jika kekerasan bisa terjadi antar individu di pesantren berdasarkan jenisnya (pengasuh, pengurus, dan santri). Hal ini senada dengan teori yang diusulkan oleh Bourdieu tersebut, yaitu kekerasan simbolik mencul dari adanya struktur kelas dalam kelompok masyarakat, dalam hal ini yaitu lingkungan pesantren. Sehingga mengakibatkan adanya perbedaan, pemisahan, ketidaksamaan, ketidaksetaraan atau ketidakseimbangan (William & Thimoty, 2004).
“Terlebih santri-santri saat ini yaitu mereka yang bisa saya katakan gen-Z. Bahwasanya perubahan sosial masyarakat yang keras seperti ini ternyata juga mempengaruhi input pesantren. Santri yang masuk itu sudah terbawa suasana lingkungan masyarakat yang seperti itu (disrupsi moralitas),” ujarnya.
Tekan Angka Kekerasan di Lingkungan pesantren
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor Universitas KH. A. Wahab Hasbullah (Unwaha) Jombang ini juga mengungkapkan bahwa untuk menekan angka kekerasan di lingkungan pesantren dapat dilakukan dengan dua cara. Yaitu upaya preventif dan represif.
“Upaya preventif kita lakukan edukasi secara persuasif mengenai pencegahan kekerasan dan bahaya-bahayanya. Santri bisa menjadi pelopor di ranah itu. Selain pelopor, mereka juga bisa menjadi pelapor,” lanjutnya.
Tidak kalah penting dari edukasi, keberanian santri untuk melaporkan tindak kekerasan yang terjadi di lingkungan mereka adalah suatu modal utama dalam menekan angka kekerasan di pesantren.
“Sehingga dengan adanya laporan ini, kami dari pengasuh atau pengurus bisa segera menangani hal tersebut. Harapannya yaitu agar tidak sampai timbul korban yang mengalami traumatik dan cidera parah,” tutur Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan ini.
Kedua yaitu upaya represif, dengan upaya ini beliau mengungkapkan, manakala kekerasan tersebut kepalang terjadi maka perlu penindakan yang tegas bagi pelaku dan pendampingan bagi korban. Ini dilakukan agar kejadian serupa di masa yang akan datang tidak terjadi lagi.
“Kita selesaikan kasus itu dengan baik-baik, dan kita komunikasikan langsung dengan keluarga yang bersangkutan. Ketika nanti hingga parah maka satu-satunya jalur yaitu menempuh jalur hukum. Hal ini bertujuan agar semuanya merasa nyaman dan bisa terselesaikan,” katanya.
Berdasarkan pengakuannya, di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang sendiri kedua upaya tersebut sudah diterapkan.
”Intinya tidak ada ruang bagi para pelaku kekerasan, bullying, pelecehan di lingkungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas,” tegasnya.
Referensi:
E. Deal, William dan Timothy K. Beal. 2004. Theory for Religious Studies, New York, London: Routledge Classics.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi, Yogyakarta: Kanisius.
- Red : Ibrahim
- Editor : Septian Ragil
**) Ikuti konten kreatif terbaru Unwaha Jombang di Instagram klik link ini dan jangan lupa follow.