Iduladha: Soal Ketaatan dan Kemanusiaan
Jombang – Iduladha merupakan momentum yang setiap tahunnya dirayakan oleh seluruh umat muslim di belahan dunia. Berdasarkan ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), Iduladha tahun 2024 jatuh pada Minggu, (16/6/2024).
Perayaan Iduladha juga erat kaitannya dengan penyembelihan hewan ternak yang telah ditentukan dalam ajaran syariat Islam, di mana amalan tersebut juga dikenal sebagai Kurban.
Esensi Kurban
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas KH. A. Wahab Hasbullah (Unwaha) Jombang, Muhammad Fodhil, S.Pd.I., M.Pd., mengatakan, mengenai esensi dari Iduladha atau Idul Kurban.
“Secara etimologi, kurban itu berasal dari kata arab yaitu qoruba-yaqrubu-qurban yang artinya adalah dekat. Sedangkan menurut terminologi, kurban itu adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melaksanakan apa yang telah diperintahkan,” jelasnya.
Ibadah kurban sendiri tidak lepas dari peristiwa historis kenabian Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As. Di mana kisah ketaatan Nabi Ibrahim As. yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya yaitu Nabi Ismail As. lah yang menjadi tonggak disyariatkannya ibadah Kurban kepada umat muslim.
Bapak Fodhil juga mengatakan, hukum berkurban bagi muslim yaitu sunnah mua’akad atau sunah yang sangat dianjurkan bagi seorang muslim yang memiliki harta lebih. Kemudian terdapat tiga jenis hewan ternak yang bisa dikurbankan. Hewan tersebut adalah sapi, kambing, dan unta.
Adapun ketentuan pelaksanaan memotong hewan kurban yaitu pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah pelaksanaan salat id hingga terbenamnya matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah.
“Sunnah mu’akad adalah hukum asal dari berkurban dan dimakruhkan bagi seseorang yang tidak mampu (untuk berkurban). Ini adalah bukti bahwa Allah SWT itu benar-benar menghargai kebutuhan dasar seorang hamba, sehingga tidak perlu memaksakan. Kemudian hukum berkurban bisa wajib, ketika seseorang sudah bernadzar untuk melakukan kurban,” terangnya.
Berdasarkan penjelasan atas sejarah dan hukum berkurban bagi umat muslim, beliau juga menjelaskan esensi dari hari raya tersebut. Menurut dosen Prodi PAI Unwaha Jombang ini, pesan yang tersirat dari Idulkurban adalah ketaatan seorang hamba kepada sang penciptanya dan juga menjunjung nilai kemanusian terhadap sesama dengan membunuh sifat-sifat negatif pada diri masing-masing.
“Berkurban tentu bertujuan untuk menghilangkan sifat ketamakan atas sesuatu. Ibadah ini memberikan pelajaran bagi kita tentang prinsip hubungan manusia dengan tuhannya (hablum minallah), juga manusia dengan sesama manusia (hablumminannas),” seru Bapak Fodhil kepada tim Humas.
Pertanyaan Tentang Kurban
Apakah boleh berkurban dengan mekanisme arisan?
Tradisi kurban dengan mekanisme arisan tentu banyak kita temui di lingkungan masyarakat. Menanggapi pertanyaan ini, Bapak Fodhil menjelaskan hukum atas praktik tersebut.
“Arisan kurban boleh, karena di dalamnya memuat gotong royong untuk mewujudkan hewan kurban. Asalkan praktiknya (arisan) itu sesuai dengan ketentauan, misalnya sapi diperuntukkan kepada tujuh orang peserta dan kambing satu orang (nama yang keluar sebagai pemenang arisan),” jelasnya.
Sebagai ilustrasi:
Arisan (pengadaan sapi kurban) digelar oleh sejumlah orang dengan beranggotakan 30 orang. Setiap anggota wajib menyetorkan uang arisan sebesar Rp 100 ribu, maka setahun dana arisan terkumpul sebesar Rp 36 juta. Arisan dikocok setiap tahun dengan ketentuan 7 orang pemenang yang berhak berkurban.
Apakah menjual kulit hewan kurban diperbolehkan?
Saat Iduladha sering sekali kita menjumpai praktik menjual kulit hewan kurban atau bahkan menyerahkannya kepada tukang jagal dengan maksud untuk meringankan biaya operasional. Berdasarkan mzhab Syafi’i, praktik semacam ini tidak diperbolehkan atau dilarang.
“Ini yang selalu menjadi pembahasan kita, seperti menjual daging, kulit, tanduk, dan rambut itu sudah dilarang secara hukum. Ini kan sudah dilakukan dari dulu dan mengakar di lingkungan masyarakat, lalu bagaimana solusinya? ada yang namanya metode hilah. Itu silahkan (menjual) dan yang terpenting harus diakadi dulu atau diserahkan kemasyarakat,” terangnya.
“Selanjutnya, ketika sudah diterima bisa dikembalikan lagi ke panitia. Statusnya ini sudah sodaqoh, sehingga panitia itu berhak mengelola,” pungkasnya.