Universitas KH. A. Wahab Hasbullah

Di Balik Amuk yang Berbaju Demo Massa: Mengungkap Kepentingan yang Tersembunyi

Oleh : Moh. Ja’far Sodiq Maksum, M.H.
Dosen Universitas KH. A. Wahab Hasbullah

Pendahuluan: Api yang Menyala dari Jalanan

“Demo adalah hak rakyat, tapi amuk adalah musibah”. Kalimat itu berulang kali terdengar dari mulut warga yang menyaksikan betapa cepatnya sebuah aksi protes berubah menjadi kerusuhan. Pemandangan jalanan dipenuhi asap ban terbakar, batu beterbangan, aparat berhadapan dengan massa, hingga gedung-gedung pemerintahan dilalap api, sudah terlalu sering kita lihat.

Demo massa sejatinya merupakan salah satu pilar demokrasi. Ia memberi ruang bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasi, mengingatkan penguasa bahwa mandat yang diberikan bukan tanpa batas. Namun, dalam praktiknya, demo kerap berbelok dari jalur. Dari sekadar orasi lantang di atas mobil komando, suasana bisa berubah menjadi amuk yang tak terkendali. Pertanyaannya: mengapa dan siapa yang diuntungkan?

Tulisan ini mencoba membongkar fenomena amuk berbaju demo massa yang dalam beberapa hari terakhir mengoyak wajah kota-kota di Indonesia. Data dan catatan lapangan menunjukkan bahwa ada pola dan kepentingan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Babak Api: Dari Senen ke Makassar

Dalam waktu yang relatif singkat, hampir setiap waktu muncul kabar tentang fasilitas publik atau gedung pemerintahan yang dibakar massa. Daftarnya panjang; Halte Busway Senen dan SCBD dibakar, Gedung DPRD Bandung, Gorontalo, Brebes, Pekalongan, hingga Solo luluh lantah, Kantor Mapolda Jogja dan Solo diserang api, Pospol di Medan dan Senen dibakar, DPRD Semarang hangus, dan Mako Brimob Depok tak luput dari amuk.

Fenomena ini bukan sekadar insiden terpisah. Pola serupa muncul: amuk diarahkan pada simbol negara (gedung DPRD, kantor polisi, markas Brimob) dan fasilitas publik vital (halte busway). Pertanyaan kritis muncul: mungkinkah semua itu murni spontanitas rakyat marah? Atau ada “tangan tak terlihat” yang sengaja mengarahkan?.

Ketika Demo Berubah Menjadi Amuk

Secara teoritis, demo massa bisa dianalisis melalui dua kacamata: Pertama dari sisi sosiologis, kerumunan besar cenderung kehilangan rasionalitas individu. Emosi kolektif lebih mudah tersulut sehingga aksi protes mudah menjelma kerusuhan. Gustave Le Bon dalam The Crowd: A Study of the Popular Mind menulis bahwa dalam kerumunan, individu sering kehilangan kontrol dan terdorong melakukan tindakan ekstrem.

Kedua adalah politik-institusional, demo sering ditunggangi aktor berkepentingan. Mereka bisa berasal dari oposisi politik, oligarki ekonomi, bahkan jaringan kriminal. Isu rakyat dijadikan “bahan bakar”, sementara arah kerusuhan ditentukan oleh kepentingan elite.

Fakta bahwa gedung-gedung negara menjadi sasaran utama, memperkuat dugaan bahwa ada agenda untuk mengguncang simbol kekuasaan. Sebab, merusak halte busway bisa dimaknai sebagai luapan emosi spontan, tapi membakar gedung DPRD di banyak kota sekaligus sulit dijelaskan tanpa koordinasi.

Pola Terstruktur: Bukan Kebetulan

Dalam setiap aksi, ada pola yang hampir sama. Dimulai massa awalnya damai dengan berorasi, menyanyikan yel-yel, dan mengibarkan spanduk. Lalu provokasi, entah lemparan batu, dorongan terhadap barikade polisi, atau teriakan “bakar!”. Dilanjut dengan massa terpecah, sebagian mencoba menahan dan yang lain tersulut emosi. Terakhir, kerusuhan pecah, massa menyerang gedung, fasilitas dibakar, dan aparat balik menekan.

Kejadian ini berulang di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta hingga Makasar. Ada “tangan” yang tahu persis kapan dan bagaimana menyalakan api di tengah lautan manusia.

Olah infiltrasi semacam ini bukan fenomena baru, melainkan telah tercatat luas dalam berbagai literatur gerakan sosial. Melalui kerangka political opportunity structure, dapat dipahami bahwa setiap momen protes rakyat kerap dijadikan ruang strategis bagi pihak tertentu untuk menyusup, memprovokasi, dan mengarahkan arus gerakan, sehingga tujuan awal massa sering terdistorsi oleh agenda tersembunyi.

Kepentingan Tersembunyi: Siapa yang Bermain?

Siapa di balik amuk berbaju demo ini?. Dugaan bisa mengarah ke beberapa kategori. Pertama adalah kelompok politik, di mana demo merupakan panggung yang efektif untuk menggerus legitimasi rezim. Ketika gedung DPRD terbakar di banyak kota, pesan yang muncul bukan lagi soal aspirasi rakyat, melainkan ketidakmampuan pemerintah menjaga stabilitas. Oposisi politik bisa memetik keuntungan dari citra “pemerintah gagal”.

Kedua adalah kelompok oligarki ekonomi, dalam situasi kacau terdapat pihak yang diuntungkan secara ekonomi. Kontrak pemulihan, proyek rekonstruksi, hingga peluang bisnis keamanan bisa menjadi “rejeki” tersendiri.

Ketiga yaitu kelompok kriminal, kerusuhan adalah peluang emas bagi jaringan kriminal. Di tengah kekacauan, penjarahan mudah dilakukan, narkotika beredar tanpa pengawasan, dan konflik dengan aparat bisa dimanfaatkan untuk memperlemah hukum.

Terakhir yaitu jaringan internasional, tak menutup kemungkinan dibalik situasi semacam ini terdapat agenda yang lebih besar. Seperti, destabilisasi negara untuk melemahkan posisi Indonesia secara geopolitik. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa kekacauan domestik kerap dimanfaatkan oleh aktor asing.

Disinformasi Digital: Bahan Bakar Baru

Di era media sosial, provokasi tak lagi butuh pengeras suara di lapangan. Cukup dengan video pendek, foto yang dipotong, atau narasi bombastis “aparat brutal”, amarah bisa menjalar lebih cepat daripada api yang melalap gedung. Analisis percakapan daring selama demo besar terakhir menunjukkan lonjakan drastis tagar provokatif. Banyak akun anonim yang menyebarkan informasi tidak terverifikasi, mendorong emosi massa untuk turun ke jalan.

Di sinilah ruang digital memainkan peran sebagai amplifier kerusuhan. Amuk yang bermula di jalanan segera direkam, disebarkan, lalu diviralkan melalui berbagai platform media sosial. Narasi provokatif dan potongan video emosional mempercepat resonansi amarah kolektif, meluas dari satu kota ke kota lain, hingga menciptakan efek domino yang membuat kerusuhan tak lagi bersifat lokal, melainkan nasional.

Rakyat di Antara Aspirasi dan Provokasi

Kenyataannya, mayoritas rakyat yang turun ke jalan sejatinya ingin menyuarakan keresahan. Mereka menuntut kebijakan yang adil, menolak keputusan yang dianggap merugikan, atau sekadar mengekspresikan hak konstitusional. Namun, suara itu kerap tenggelam oleh kobaran api.

Di hadapan publik luas, citra demo bukan lagi tentang “aspirasi rakyat”, melainkan “kerusuhan massa”. Akibatnya, pesan substantif yang seharusnya didengar pemerintah justru terdistorsi. Ironisnya, korban paling nyata selalu rakyat sendiri: pedagang kecil yang lapaknya terbakar, pekerja yang terjebak macet berjam-jam, hingga warga kota yang kehilangan fasilitas publik.

Pertanyaan Kunci yang Harus Dijawab

Siapa dalang sesungguhnya di balik pola pembakaran serentak di banyak kota?. Mengapa target hampir selalu gedung DPRD dan kantor kepolisian?. Apakah kerusuhan ini hanya efek spontan rakyat marah, atau ada skenario politik-ekonomi lebih besar?.Bagaimana peran media sosial dalam mempercepat eskalasi amuk?

Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawaban serius, bukan sekadar retorika.

Kesimpulan: Antara Hak dan Tanggung Jawab

Demo massa adalah hak konstitusional yang harus dijaga. Namun, ketika ia berubah menjadi amuk, nilai demokrasi justru runtuh. Amuk yang berbaju demo massa hanya melahirkan luka sosial, kerugian ekonomi, dan citra negatif bangsa. Karena itu, perlu dipahami: demo bukanlah ruang melampiaskan emosi, melainkan ruang menyampaikan aspirasi dengan etika.

Saran Jalan ke Depan

Di sini penulis mencoba untuk menguraikan saran bagi semua pihak dalam menyikapi situasi seperti ini. Bagi masyarakat, jangan mudah terprovokasi, jangan mudah percaya pada narasi liar di media sosial. Gerakan sipil, seperti mahasiswa, buruh, bahkan ormas perlu menjaga disiplin aksi agar tidak dimanfaatkan pihak luar. Bagi media independen, agar tidak menyajikan informasi kobaran api dan kemarahan, hendaknya mengulik siapa yang diuntungkan.

Bagi pemerintah dan aparat, agar mengutamakan pendekatan intelijen dan dialog, bukan hanya kekuatan represif. Terakhir perlu dilakukan sebuah investigasi independen; perlu dibentuk tim lintas lembaga untuk membongkar aktor di balik amuk berbaju demo.

Penutup: Mau Berapa Banyak Lagi?

Daftar gedung yang terbakar sudah terlalu panjang. Pertanyaan retoris ini menggema di ruang publik: Mau berapa banyak lagi?!!. Demo harus dipulihkan sebagai ruang demokrasi, bukan ajang anarkis. Jika tidak, api yang menyala di jalanan hanya akan terus membakar kepercayaan kita pada demokrasi itu sendiri.

Editor: Ibrahim

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Artikel Terbaru
Pengumuman Terbaru
Agenda Terbaru
Berita Terbaru
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x